Di tengah arus modernisasi, gairah untuk melestarikan seni dan budaya lokal sering kali meredup. Namun, hal berbeda terjadi di Desa Wonua Morome, sebuah desa yang terletak di sudut Kabupaten Konawe Selatan. Di sini, semangat untuk menjaga warisan budaya tetap membara, salah satunya melalui seni pertunjukan Kuda Lumping atau yang sering disebut Ebeg.
Kuda Lumping bukan sekadar tontonan, melainkan jantung dari berbagai perayaan dan hajatan warga Desa Wonua Morome. Hampir setiap kali ada acara pernikahan, syukuran, atau perayaan penting lainnya, pertunjukan ini selalu hadir memeriahkan suasana. Gemuruh musik tradisional, gerakan para penari yang enerjik, serta atraksi-atraksi yang memukau selalu berhasil memukau penonton.
Antusiasme yang luar biasa tak hanya datang dari warga Desa Wonua Morome itu sendiri. Dari anak-anak hingga orang dewasa, semua berbaur menjadi satu, menyaksikan dengan penuh kekaguman. Bahkan, warga dari desa-desa tetangga pun ikut berbondong-bondong datang untuk menyaksikan pertunjukan Kuda Lumping ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa seni budaya Kuda Lumping telah menjadi perekat sosial yang kuat, menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang.
Bagi generasi muda, pertunjukan ini menjadi cara yang efektif untuk mengenalkan kekayaan budaya leluhur. Mereka tidak hanya menonton, tetapi juga belajar dan ikut berpartisipasi dalam melestarikan tradisi ini. Kehadiran Kuda Lumping di setiap hajatan membuktikan bahwa seni budaya lokal masih memiliki tempat yang istimewa di hati masyarakat, bahkan di era digital ini.
Melalui kegiatan ini, Desa Wonua Morome tidak hanya sekadar melestarikan sebuah pertunjukan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan kebanggaan akan identitas lokal. Seni Kuda Lumping menjadi simbol hidup dari tekad mereka untuk menjaga warisan budaya agar tidak hilang ditelan waktu. Ini adalah sebuah kisah inspiratif tentang bagaimana sebuah desa kecil bisa menjadi garda terdepan dalam merawat kekayaan budaya bangsa.